Harapan Yang Terhimpit di Batas Sabaru dan Kalampangan
WWW.LIPUTANKALTENG.ID – PALANGKA RAYA ll Di tepian Sabangau, di antara deru angin rawa dan semak belukar yang masih menyisakan jejak hutan gambut, konflik tanah terus membayangi kehidupan warga.
Bukan sekadar garis batas di peta, sengketa di antara Kelurahan Sabaru dan Kalampangan ini telah menjelma menjadi luka sosial yang sulit sembuh.
Setiap jengkal tanah di kawasan ini bukan hanya hamparan kosong, melainkan ruang hidup, sumber harapan, dan warisan yang dipertahankan warga dengan sepenuh hati.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perselisihan kepemilikan justru menjerat masyarakat pada ketidakpastian yang melelahkan.
Di tengah keruwetan itu, suara seorang pemerhati sosial kembali hadir menyejukkan suasana. Hartany Soekarno, yang akrab dikenal dengan salam khasnya “Jurnalis untuk Keadilan”, angkat bicara. Dari kediamannya, Rabu (17/09/2025), ia menegaskan bahwa polemik ini tidak bisa dibiarkan menjadi cerita tanpa akhir.
“Dengan hadirnya negara (Pemko), setiap konflik pertanahan warganya bisa diurai. Narasi simpang siur yang selama ini berseliweran di telinga dan mata publik harus segera diluruskan,” ujarnya dengan nada tegas, namun tetap menyimpan kegelisahan.
Hartany memandang, pemerintah Kota Palangka Raya tidak cukup hanya berdiri di pinggir arena. Ia mempertanyakan: sampai kapan publik harus dibiarkan bertanya – tanya soal kepastian batas wilayah, sementara perseteruan semakin menajamkan perbedaan?
“Jangan sampai amanah yang diberikan rakyat berubah menjadi amarah rakyat,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa konflik ini bukan semata soal tanah. Di baliknya ada hak hidup masyarakat, ada keadilan sosial yang dipertaruhkan. Pemerintah, katanya, harus turun tangan sebelum bara kecil menjelma menjadi api besar.
Kini, masyarakat menanti dengan harap cemas. Akankah pemerintah kota berani melangkah tegas, menata ulang batas wilayah Sabaru dan Kalampangan, lalu menghadirkan rasa adil yang lama dirindukan ?
Di batas Sabangau itu, harapan rakyat masih terhimpit menunggu tangan negara yang benar – benar hadir, bukan sekadar menjadi penonton.
( red )