Dugaan Mafia Tanah di Kalampangan: Jejak Mantan Lurah dan Hilangnya Hak Masyarakat Adat
WWW.LIPUTANKALTENG.ID ll PALANGKA RAYA ll Isu dugaan penguasaan ratusan hektare tanah secara tidak wajar oleh Hadi Suwandoyo, mantan Lurah Kalampangan, kembali menyeruak dan memantik sorotan publik.
Di tengah situasi sebagian masyarakat adat Dayak kesulitan memperoleh lahan produktif, Hadi justru disebut – sebut mengendalikan kepemilikan lahan luas bersama keluarganya.
Keluhan bermula dari warga Kelurahan Kalampangan yang mempertanyakan asal-usul kepemilikan tanah atas nama Hadi. Mereka mendesak Inspektorat Kota Palangka Raya serta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) segera melakukan audit menyeluruh.
“Ini bukan sekadar penguasaan tanah, tapi sudah masuk indikasi mafia tanah. Ada konflik kepentingan yang harus diusut,” tegas Men Gumpul, Ketua Kalteng Watch, kepada wartawan Pada Minggu (17/08/20265).
Sejumlah warga menyebut, saat menjabat lurah, Hadi diduga memanfaatkan kewenangannya dalam penerbitan SPT. Setiap penerbitan surat disebut tidak lepas dari praktik imbalan. Meski sudah purna jabatan, ia dinilai tetap mengendalikan pengelolaan lahan melalui istrinya.
“Praktiknya sudah lama berlangsung. Bahkan sekarang masih ada transaksi jual beli tanah yang dikaitkan dengan namanya,” ujar seorang warga Kalampangan yang enggan disebut namanya.
Kasus yang paling mencuat adalah klaim kepemilikan atas lahan seluas 850, (delapan ratus lima puluh) hektare di Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sabangau. Lahan itu diklaim oleh kelompok tani Jadi Makmur yang diketuai Cipto, namun disebut berada di bawah kendali Hadi.
Permasalahan muncul karena lahan tersebut sebelumnya dikelola sembilan kelompok masyarakat adat selama puluhan tahun. Di atas lahan itu terdapat kebun, tanaman, hingga rumah tinggal.
“Tanah itu bukan kosong. Ada kehidupan di sana. Tapi tiba-tiba diklaim sepihak melalui kelompok Jadi Makmur,” ujar seorang tokoh masyarakat dari Lewu Taheta, Sabaru.
Kondisi ini menimbulkan kecemburuan sosial, terutama bagi masyarakat Dayak di bantaran Sungai Kahayan seperti Bereng Bengkel, Kameloh, hingga Sabaru, yang hingga kini banyak belum memiliki lahan legal di daratan.
“Organisasi masyarakat Dayak seolah lumpuh menghadapi manuver satu pejabat. Ini memalukan, hak Dayak asli malah hilang,” keluh warga lainnya yang ikut aksi penolakan klaim lahan di Sabaru.
Selain memanfaatkan kewenangan di tingkat kelurahan, Hadi juga dituding menjalin kerja sama dengan oknum Kantor Pertanahan Kota Palangka Raya. Sejumlah lahan yang semula berstatus pemekaran wilayah Kalampangan diduga beralih kepemilikan kepada dirinya dan keluarganya.
Skema dugaan “bagi hasil” antara kelompok tertentu, oknum pejabat, dan pihak pertanahan menjadi isu yang terus beredar di masyarakat, meski belum ada klarifikasi resmi dari institusi terkait.
Kalteng Watch menilai kasus ini adalah momentum penting bagi pemerintah kota dan aparat penegak hukum. Transparansi dan keadilan dalam tata kelola agraria, kata Gumpul, hanya bisa terwujud jika aparat berani bertindak tegas.
“Kalau aparat diam, akan muncul kesan hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kita butuh ketegasan, bukan kompromi,” ujarnya.
Inspektorat Kota Palangka Raya sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait desakan audit. Sementara Kalteng Watch menegaskan akan mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk mengumpulkan bukti dan saksi untuk mendorong penyelidikan oleh kejaksaan maupun kepolisian.
Kasus Kalampangan dan Sabaru kini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah daerah. Masyarakat menunggu apakah ada keberanian aparat dalam menindak dugaan mafia tanah, atau justru membiarkan praktik serupa terus mengakar.
Bagi masyarakat adat Dayak, isu ini bukan hanya soal kepemilikan lahan, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup, identitas, dan keadilan.
( Tieam / Red )